SEJARAH DAN KISAH 25 NABI DAN RASUL

Bismillahirrohmanirrohim….

Halo sobat semua… pada kesempatan kali ini saya akan berbagi pengetahuan sejarah dan kisah dari 25 Rasul terkenal yang disebutkan dalam Al Quran yang saya susun berdasarkan berbagai sumber. Semua ini untuk menambah pengetahuan kita tentang Islam terkait sejarah Nabi dan Rasul Islam.
Sebenarnya jumlah keseluruhan nabi dalam Islam sebanyak 124 ribu orang, dan yang diangkat sebagai rasul adalah sebanyak 312 orang (Hadits sahih riwayat At-Turmuzy) tapi yang disampaikan secara jelas dalam Alqur’an adalah 25 orang. Silahkan sobat baca semua kisah 25 Rasul Islam ini:

1. Nabi Adam as <— silahkan klik untuk cerita selengkapnya

Nabi Adam as merupakan manusia pertama dan juga nabi pertama dalam agama Islam.

2. Nabi Idris as <— silahkan klik untuk cerita selengkapnya

Nabi Idris adalah keturunan ke-enam dari Nabi Adam. Nabi Idris as menjadi keturunan pertama yang diutus menjadi nabi setelah Adam. Dalam agama Yahudi dan Nasrani, Idris dikenal dengan nama Henokh. Diutus di Irak Kuno (Babylon, Babilonia) dan Mesir (Memphis). Nabi Idris dianugerahi kepandaian dalam berbagai disiplin ilmu, kemahiran, serta kemampuan untuk menciptakan alat-alat untuk mempermudah pekerjaan manusia, seperti pengenalan tulisan, matematika, astronomi, dan lain sebagainya

Lanjutkan membaca “SEJARAH DAN KISAH 25 NABI DAN RASUL”

25 Nabi & Rasul

Nama – nama 25 Nabi & Rasul
Nabi Adam as
Nabi Idris as
Nabi Nuh as
Nabi Huud as
Nabi Shaleh as
Nabi Ibrahim as
Nabi Ismail as
Nabi Luth as
Nabi Ishaq as
Nabi Ya’qub as
Nabi Yusuf as
Nabi Syu’aib as
Nabi Ayyub as
Nabi Dzulkifli as
Nabi Musa as
Nabi Harun as
Nabi Daud as
Nabi Sulaiman as
Nabi Ilyas as
Nabi Ilyasa as
Nabi Yunus as
Nabi Zakaria as
Nabi Yahya as
Nabi Isa as
Nabi Muhammad saw

Silsilah Nabi & Rasul

Kisah 25 Nabi & Rasul
Ebook 25 Nabi & Rasul

Dikutip dari http://hasanalsaggaf.wordpress.com/2008/06/12/silsilah-para-nabi-dan-rasul,

Nilai Gizi & Khasiat Buah Kurma

Kurma adalah buah yang tumbuh dari pohon palem keluarga Arecaceae dari genus phoenix. Nama ilmiah kurma adalah dactylifera phoenix. Kurma diyakini berasal dari tanah di sekitar tepi sungai Nil dan Efrat. Sekarang pohon kurma dibudidayakan secara luas di wilayah beriklim hangat di semua benua, termasuk di Afrika, Australia dan Amerika (California).

Kurma segar memiliki daging berserat lembut dan rasanya sangat manis, seperti campuran sirup gula dan madu. Daging buah kurma berisi gula sederhana seperti fruktosa dan dekstrosa yang mudah dicerna dan cepat mengisi ulang energi tubuh. Karena karakteristik tersebut, kurma sangat cocok untuk mengawali berbuka puasa.
Rincian kandungan gizi kurma (per 100 g)
(Sumber: USDA National Nutrient Database)

Unsur Nilai gizi Persen kecukupan gizi
Energi 277 Kkal 14%
Karbohidrat 74,97 g 58%
Protein 1,81g 3%
Total Lemak 0,15 g <1%
Kolesterol 0 mg 0%
Serat makanan 6,7 g 18%
Asam Folat 15 mcg 4%
Niacin 1,610 mg 10%
Asam pantotenat 0,805 mg 16%
Piridoksin 0,249 mg 19%
Riboflavin 0,060 mg 4.5%
Thiamin 0,050 mg 4%
Vitamin A 149 IU 5%
Vitamin C 0 mg 0%
Vitamin K 2,7 mcg 2%
Sodium 1 mg 0%
Potasium 696 mg 16%
Kalsium 64 mg 6.5%
Tembaga 0,362 mg 40%
Besi 0,90 mg 11%
Magnesium 54 mg 13%
Mangan 0,296 mg 13%
Fosfor 62 mg 9%
Seng 0,44 mg 4%
Beta karoten 89 mcg –
Lutein-zeaxanthin 23 mcg –

Lanjutkan membaca “Nilai Gizi & Khasiat Buah Kurma”

Kumpulan Hadits tentang Kesehatan

HADITS KE-1
Sehatnya Hati, Sehatnya Jasmani
عن عامر قال سمعت النعمان بن بشير يقول: سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول: الحلال بين والحرام بين وبينهما مشبهات لا يعلمها كثير من الناس فمن اتقى المشبها استبرأ لدينه وعرضه ومن وقع في الشبهات كراع يرعى حول الحمى أوشك أن يواقعه ألا وإن لكل ملك حمى ألا وإن حمى الله في أرضه محارمه ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب (اللفظ لالبخاري)
Artinya:
Dari ‘Amir dari Abdullah bin Nu’man bin Basyir r.a. beliau berkata:” Saya mendengar Rasulallah bersabda,” sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang subhat Lanjutkan membaca “Kumpulan Hadits tentang Kesehatan”

Etika Islam tentang pemilihan pemimpin

Proses pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung semakin memberikan ruang kepada setiap individu untuk memilih sesuai dengan rasio dan hati nurani. Namun sayang, proses demokratisasi ini terkadang masih banyak dinodai dengan praktik money politics yang menimbulkan tekanan dan paksaan kepada setiap pemilih.

Secara historis, bagi masyarakat muslim, sebenarnya kontroversi mengenai penentuan kriteria ”pemimpin” bukanlah sesuatu hal yang baru. Sebab pascakematian Rasulullah pun (pada tahun 11 H/632 M), umat Islam juga pernah digoncangkan dengan isu yang serupa.

Kalau kita menelisik sejarah, pascawafatnya Rasulullah, sempat pula terjadi ketegangan antara Golongan Muhajirin dan Anshar (kalau sekarang mungkin orsospol), sebagai dua kekuatan besar yang sama-sama menginginkan kursi kekhalifahan, untuk mengganti kepemimpinan Rasulullah SAW. Perdebatan dan ketegangan sempat terjadi ketika proses suksesi secara sederhana berlangsung di Saqifah bani Saidah yang finalnya memunculkan nama Abu Bakar sebagai khalifah pertama.

Yang paling menarik, pemilihan masyarakat muslim dan pembaiatan kepada Abu Bakar, secara tidak langsung dapat mengindikasikan legalitas kedaulatan rakyat. Nilai-nilai yang diterapkan sudah mencerminkan suatu sistem demokratis sekaligus menepis upaya ala monarchi. Sehingga meskipun belum diadakan pemilu secara langsung, konsensus golongan Muhajirin dan Anshar-dalam beberapa hal-memiliki hakikat yang tidak jauh berbeda dengan pemilu.

Melihat realitas sejarah tentang pemilihan seorang pemimpin yang pernah dilakukan para sahabat sepeninggal Rasul tersebut, dapatlah dijadikan semacam bukti bahwa untuk memilih pemimpin dalam prespektif Islam adalah sebuah keniscayaan. Hal itu disebabkan, kepemimpinan dalam Islam dipandang sebagai instrumen penting bagi terlindunginya agama dan kesuksesan mengatur dunia.

Kevakuman pemimpin akan mendatangkan kekacauan. Lebih dari itu, menurut Islam pemimpin adalah ”bayangan” Allah di muka bumi. Enam puluh tahun di bawah pemimpin congkak, lebih baik daripada semalam tanpa pemimpin. Wajar jika kemudian para ulama sepakat bahwa pengangkatan pemimpin bagi kaum muslim adalah wajib syar’i.

Mayoritas ulama menyatakan bahwa al-Islam huwa al-din wa aldaulah (Islam adalah agama dan negara). Al-Ghazali (w. 1111 M) melukiskan hubungan antara agama dan kekuasaan politik sebagai berikut: ”Sultan (kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat.

Inilah sebenarnya tujuan Rasul. Jadi wajib adanya imam merupakan kewajiban agama yang tidak ada jalan untuk meninggalkanya. Para pemikir politik seperti Abu al-Hasan al-Mawardi dalam al-Ahkam al- Sulthaniyah, Ibn Taimiyah dalam al- Siyasah al-Syar’iyah, Yusuf Qardlawy dalam Fiqh al-Daulah dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam al-Khilafah au al-Imamah al- ’Udhma juga berpendapat serupa.

Siapakah sebenarnya orang yang berhak untuk menjadi seorang pemimpin (pemimpin/gubernur/bupati) dalam pandangan Islam? Terdapat beberapa ayat Alquranan dan hadis yang telah menunjukkan secara jelas kriteria seorang pemimpin. Dalam surat al-Maidah: 42 dijelaskan bahwa, ”Pemimpin adalah seorang yang mampu memberi manfaat bagi orangorang yang dipimpinya”. Begitu pula sebaliknya, kalau hendak menjadi pemimpin, ia harus berani tampil ke depan, memberi contoh dalam ucapan dan perbuatan, menjadi pembangkit semangat serta meningkatkan kemauan di tengah-tengah mereka, mengikuti dan mengarahkan aspirasi serta tindakan yang dipimpin.

Dalam ayat lain, pada al-Baqarah: 119 juga disebutkan, ”Sesungguhnya Kami telah mengutus engkau (Muhammad) dengan kebenaran sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan dan engkau tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang penghuni-penghuni neraka”. Jadi seorang pemimpin yang diharapkan Islam adalah seseorang yang di dalam dirinya mengandung unsur kebenaran, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan.

Berkaitan dengan kriteria seorang pemimpin, al-Mawardi memberikan tujuh syarat. Pertama, keadilan (al- ’adalah) atas syarat yang menyeluruh. Kedua, memiliki pengetahuan yang memungkinkan untuk berusaha keras (ijtihad) dalam berbagai persoalan termasuk hukum. Ketiga, sehat indranya, baik pendengaran, penglihatan, dan lisan agar dapat secara benar apa yang didapatinya. Keempat, sehat anggota badanya dari berbagai kekurangan yang dapat menghambat dari kegiatan dan kecepatan bertindak. Kelima, kreatif dalam mengatur rakyat dan mengupayakan kebaikan. Keenam, memiliki keberanian dan keteguhan untuk memelihara dari berbagai hambatan, termasuk serangan musuh; dan ketujuh nasab Quraisy, karena dalil yang disepakati ”al-aimmatu min Quraisy”. Untuk syarat yang terakhir, oleh Ibn Khaldun ditafsirkan secara kontekstual, yang lebih menekankan pada kualifikasi, kapabilitas dan kompetensinya.

Menganalisa beberapa kriteria pemimpin yang diberikan kitab suci atau para pemegang otoritas, seperti di atas. Mungkin kita akan semakin bertanya-tanya, siapa kiranya orang yang memiliki kualifikasi secanggih itu. Atau bagi masyarakat yang sebentar lagi akan menggelar pilkada, juga akan semakin bingung untuk mendasarkan pilihanya kepada ”calon pemimpin”. Sebaiknya, menurut hemat penulis, acuan-acuan normatif mengenai kepemimpinan, janganlah dianggap sebagai beban bagi seseorang yang ingin memilih atau dipilih menjadi pemimpin. Akan tetapi, semua acuan semacam itu bagi seorang calon pemimpin negeri ini, hendaknya dapat dijadikan ”guideline” bahwa, tugas pemimpin adalah sangat berat. Sehingga tentang persoalan ini, Rasul pun sudah wanti-wanti agar umat Islam tidak meminta jabatan: ”Janganlah kamu meminta jabatan, jika kamu diberi jabatan karena meminta, maka akan menjadi (beban) berat, tetapi jika kamu diberi jabatan bukan karena memintanya, maka Allah akan membantu kamu”. Meskipun, harus kita akui, pemahaman tekstual hadis ini pada saat sekarang, mungkin kurang populer. Sedangkan bagi masyarakat Indonesia yang memiliki hak untuk memilih pemimpin akan dapat menjadikan acuan normatif tersebut, sebagai ”standar moral” untuk memilih figur pemimpin dapat mencerminkan keterwakilan rakyat baik secara moral, pengetahuan dan komitmen kepada perbaikan dan kebaikan rakyat. Hanya dengan memilih pemimpin yang sesuai pesan Alquran dan hadis itulah, harapan untuk memilih pemimpin yang populis, tidak penguasa yang sok kuasa, tetapi pemimpin yang melayani dan memikirkan kesejahteraan rakyat, akan dapat diwujudkan.

Walhasil, masyarakat akan sepakat, bahwa pemimpin yang dikehendaki saat ini adalah pemimpin yang secara sejati memancarkan wibawa karena memiliki komitmen, integritas, dan kapabilitas yang memadai. Pemimpin yang kita butuhkan sekarang adalah pemimpin yang amanah, fathanah, dan shidiq, serta santun kepada rakyat. Semoga!!

Dikutip dari http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=13401&Itemid=62

Tauhid

Tauhid (Arab :توحيد), adalah konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan keesaan Allah.

Tauhid dibagi menjadi 3 macam yakni tauhid rububiyah, uluhiyah dan Asma wa Sifat. Mengamalkan tauhid dan menjauhi syirik merupakan konsekuensi dari kalimat sahadat yang telah diikrarkan oleh seorang muslim.

Kedudukan Tauhid dalam Islam

Seorang muslim meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat merupakan syarat diterimanya amal perbuatan disamping harus sesuai dengan tuntunan rasulullah.

Dalil Al Qur’an Tentang Keutamaan & Keagungan Tauhid

Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS An Nahl: 36)

“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS At Taubah: 31)

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)” (QS Az Zumar: 2-3)

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (QS Al Bayinah: 5)

Perkataan Ulama tentang Tauhid

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Orang yang mau mentadabburi keadaan alam akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi ini adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa serta taat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini; fitnah, musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain penyebabnya adalah menyelisihi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Orang yang mentadabburi hal ini dengan sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini baik dalam dirinya maupun di luar dirinya” (Majmu’ Fatawa 15/25)

Karena kenyataannya demikian dan pengaruhnya-pengaruhnya yang terpuji ini, maka syetan adalah makhluk yang paling cepat (dalam usahanya) untuk menghancurkan dan merusaknya. Senantiasa bekerja untuk melemahkan dan membahayakan tauhid itu. Syetan lakukan hal ini siang malam dengan berbagai cara yang diharapkan membuahkan hasil.

Jika syetan tidak berhasil (menjerumuskan ke dalam) syirik akbar, syetan tidak akan putus asa untuk menjerumuskan ke dalam syirik dalam berbagai kehendak dan lafadz (yang diucapkan manusia). Jika masih juga tidak berhasil maka ia akan menjerumuskan ke dalam berbagai bid’ah dan khurafat. (Al Istighatsah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal 293, lihat Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Ali Furayaan, hal 4)

Pembagian Tauhid

Rububiyah

Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang memiliki, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara, memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat serta menjaga seluruh Alam Semesta. Sebagaimana terdapat dalam Al Quran surat Az Zumar ayat 62 :“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu“. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang yang mengingkari hal ini, seperti kaum atheis, pada kenyataannya mereka menampakkan keingkarannya hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka sendiri. Hal ini sebagaimana firman Alloh “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).“ (Ath-Thur: 35-36)

Namun pengakuan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah ini tidaklah menjadikan seseorang beragama Islam karena sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi Rosululloh mengakui dan meyakini jenis tauhid ini. Sebagaimana firman Alloh, “Katakanlah: ‘Siapakah Yang memiliki langit yang tujuh dan Yang memiliki ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Alloh.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Alloh.’ Katakanlah: ‘Maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (Al-Mu’minun: 86-89).

Uluhiyah/Ibadah

Beriman bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagiNya. “Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana” (Al Imran : 18). Beriman terhadap uluhiyah Allah merupakan konsekuensi dari keimanan terhadap rububiyahNya. Mengesakan Alloh dalam segala macam ibadah yang kita lakukan. Seperti salat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut dan berbagai macam ibadah lainnya. Dimana kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada Alloh semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para rosul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Alloh mengenai perkataan mereka itu “Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu Sesembahan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad: 5). Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadah hanya ditujukan untuk Alloh semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Alloh dan Rosul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Alloh adalah satu-satunya Pencipta alam semesta. (by izur…)

Asma wa Sifat

Beriman bahwa Allah memiliki nama dan sifat baik (asma’ul husna) yang sesuai dengan keagunganNya. Umat Islam mengenal 99 asma’ul husna yang merupakan nama sekaligus sifat Allah.

~Tidak ada Tauhid Mulkiyah

Tauhid itu ada tiga macam, seperti yang tersebut di atas dan tidak ada istilah Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila yang dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah Azza wa Jalla, maka hal ini sudah masuk ke dalam kandungan Tauhid Rububiyah. Apabila yang dikehendaki dengan hal ini adalah pelaksanaan hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke dalam Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada Allah semata. Lihatlah firman Allah pada surat Yusuf ayat 40. [Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M].

Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tauhid

Syariat Islam

Syariat Islam adalah ajaran Islam yang membicarakan amal manusia baik sebagai makluk ciptaan Allah maupun hamba Allah.

Terkait dengan susunan tertib Syari’at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.

Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara’ dan perkara yang masuk dalam kategori Furu’ Syara’.

* Asas Syara’

Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari’at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara’ dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara’. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.

Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati syari’at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari’at yang berlaku.

* Furu’ Syara’

Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari’at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.

Perkara atau masalah yang masuk dalam furu’ syara’ ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.

  • Al-Qur’an

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba’ QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara’. Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia Dalam upaya memahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur’an namun tidak ada yang saling bertentangan.

  • Al Hadist
  • Ijtihad

Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak bisa diijtihadkan.

Beberapa macam ijtihad antara lain

* Ijma’, kesepakatan para ulama

* Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya

* Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat

* ‘Urf, kebiasaan

Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Syariat_Islam